Rabu, 27 April 2011

Ciu Ala Banyumas



Desa Wlahar, Kecamatan Wangon tidak berbeda dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Berada di wilayah dataran yang agak berbukit, berada sekitar 20 kilometer (km) arah barat Kota Purwokerto, Wlahar dikenal sebagai desa penghasil ciu, salah satu jenis minuman beralkohol tradisional. Barangkali hampir sama dengan penghasil ciu di Solo, yakni Bekonang.

Tetapi jangan salah, saat memasuki desa setempat, kesan sebagai desa penghasil ciu tidak tampak. Aroma alkohol seperti berada di diskotik atau cafe sama sekali tidak tercium. Maklum, sementara ini, industri tradisional di desa setempat tidak dilakukan secara terbuka, tetapi sembunyi-sembunyi. Sejauh ini juga sama sekali tidak ada izin sebagai tempat penghasil alkohol yang kadarnya bisa mencapai 40 persen hingga 50 persen.

Untuk masuk ke dapur pembuat ciu pun tidak sembarangan orang. Sebab, mereka juga takut kalau nantinya dia mendapat masalah. Makanya, mereka mau terbuka kalau orang yang datang benar-benar sudah dikenalnya atau dari aparat pemerintah yang tujuannya hanya meninjau saja.

Saat memasuki rumah Madari, 60, misalnya, sama sekali tidak nampak kalau rumah itu sebagai penghasil produk ciu. Tetapi ketika masuk ke dapur, ternyata ada pemandangan lain yang tidak biasanya. Ada alat penyulingan seperti membuat minyak atsiri. Alat penyulingan itulah yang digunakan untuk membuat ciu.

Untuk membuat ciu, Madari menuangkan cairan yang terdiri dari campuran gula kelapa, tape singkong, dan ‘laru’. Dengan tangan yang sudah terlihat mengeriput itu, dia memasukkan ke dalam panci di atas perapian yang dibakar dengan kayu. Cairan yang dituangkan tersebut volumenya sekitar lima liter. Setelah itu, ditutupnya panci tersebut. Di tengah tutupnya telah dibuat lubang yang ada semacam pipa dari bambu yang disalurkan melalui air dingin. Pada ujung bambu, ditempatkan gelas uikuran besar untuk menampung cairan tersebut. Kalau dicium, hmmmm....bau alkohol sudah sangat terasa. Itulah ciu hasil kerajinan tradisional warga Wlahar yang telah turun-temurun digelutinya.

Sudah puluhan tahun, Madari menggeluti profesi sebagai perajin ciu tradisional. Bahkan, katanya, kakeknya dulu pun menjadi perajin tersebut dan telah memulainya sejak zaman penjajahan Belanda. “Umur kerajinan ciu di sini, lebih tua dibandingkan dengan usia saya sekarang,”kata lelaki yang masih terlihat gesit tersebut.

Baginya, meski sembunyi-sembunyi, hasil kerajinan itulah yang nyata-nyata memberikan penghasilan. Ciu hasil dari Desa Wlahar masih tetap diminati oleh pembeli, meski dia mengaku tidak tahu pembeli yang datang ke tempatnya menjual ke mana. “Biasanya pembeli yang datang ke sini sudah saling kenal. Begitu datang, langsung masuk dan tidak berapa lama pergi lagi. Yang penting tidak diminum di sini, itu syarat utamanya. Jangan sampai kami juga kena masalah,”katanya sambil terus memroses pembuatan ciu.

Dalam sehari, dia mampu membuat ciu sebanyak 30-40 liter dengan kadar alkohol sekitar 40-50 persen. Makanya tidak heran, jika mengecap saja, di mulut langsung terasa panas. Untuk membuatnya, tiap harinya Madari membutuhkan bahan-bahan gula merah dan tape singkong yang tidak terlalu sulit diperolehnya. Pembelinya tidak hanya berasal dari Banyumas, melainkan juga dari Wonosobo dan Cilacap. Dengan menggeluti pembuatan ciu tersebut, dia mendapatkan hasil Rp400 ribu per hari. Sebuah hasil yang sangat menggiurkan bagi warga desa. (liliek dharmawan)

1 komentar:

tonny papinya viany avany mengatakan...

absolut vodka ketone slurrppp ....